CSR Talkshow The 39th IPA Convention & Exhibition 2015

Founding Director Program MM-Sustainability Universitas Trisakti Dr. Maria R Nindita Radyati, Dip. Cons menjadi salah satu pembicara pada acara CSR Talkshow bertema “Peran CSR di Sektor Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia”. Dua pembicara lainnya adalah Sigit Reliantoro dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Agus Mashud dari PT Pertamina (Persero). Acara ini digelar di Hall B, Jakarta Convention Center, Jakarta, pada 21 Mei 2015 sebagai bagian dari “The 39th IPA Convention & Exhibition 2015”.
Maria menjelaskan, CSR yang benar dan holistik tidak bisa dilepaskan dari bisnis perusahaan. Artinya, manfaat CSR selain dirasalan oleh masyarakat (eksternal), harus pula dapat dirasakan oleh perusahaan (internal). Selain itu, CSR juga harus memiliki konteks dengan tempat perusahaan beroperasi. Misalnya, jika perusahaan beroperasi di Indonesia, maka CSR yang dijalankan harus pula dalam konteks Indonesia.
Maria memberi contoh. Di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika dan Australia, sarana infrastruktur, misalnya jalan raya, dibangun oleh pemerintah sehingga perusahaan tinggal memanfaatkan infrastruktur tersebut. Namun, dalam konteks Indonesia, seringkali sarana infrastruktur belum memadai, sehingga perusahaan harus membangun sarana infrastruktur tersebut sebagai bagian dari CSR-nya. Sarana infrastruktur ini nantinya selain dimanfaatkan oleh perusahaan, juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar wilayah operasional perusahaan.
Tantangan yang dihadapi perusahaan dalam menjalankan CSR di Indonesia juga tidak ringan. Di internal perusahaan seringkali Departemen CSR harus menangani pekerjaan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya, misalnya ditugaskan untuk membebaskan lahan. Pembebanan tugas yang kurang tepat kepada Departemen CSR mengakibatkan tugas yang lebih penting, seperti program pemberdayaan masyarakat, menjadi terganggu.
Sementara itu, departemen lain di luar Departemen CSR juga seringkali mempunyai persepsi yang berbeda tentang CSR. Bagian produksi misalnya, hanya fokus untuk meningkatkan produksi sehingga “lupa” terhadap dampak proses produksi terhadap masyarakat dan lingkungan. Mereka berpendapat, jika timbul keresahan masyarakat yang disebabkan oleh proses produksi, misalnya jika timbul polusi atau pencemaran lingkungan, maka persoalan itu dianggap merupakan urusan Departemen CSR. “Antar departemen seolah-olah tidak saling berhubungan,” ungkap Maria.
Tantangan dalam menjalankan CSR juga datang dari luar perusahaan. Misalnya, masuknya beragam proposal yang diajukan oleh kelompok masyarakat, politikus hingga pemerintah lokal. Proposal ini diajukan karena mereka berpandangan perusahaan memiliki banyak dana, bahkan tidak jarang perusahaan seolah-olah dianggap sebagai “ATM”. Hal ini mengakibatkan perusahaan menghadapi situasi dilematis antara mengabulkan atau menolak proposal tersebut. Karena itu, menurut Maria, seluruh stakeholder harus memiliki persepsi yang sama mengenai CSR.
“Masyarakat harus mempunyai persepsi yang sama dengan perusahaan,”
tegas Maria.
Untuk menciptakan persepsi yang sama, maka perusahaan harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat dan stakeholder lainnya. Saat ini sebenarnya sudah ada pedoman yang dapat digunakan, yaitu ISO 26000. Menurut ISO 26000, pada dasarnya, tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui tranparansi dan perilalu beretika.
Program CSR sebaiknya diawali dengan pemetaan sosial (social mapping). Melalui pemetaan sosial ini kebutuhan para penerima manfaat dapat diketahui dengan tepat sehingga program CSR yang dijalankan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perusahaan. Proses evaluasi dan monitoring CSR juga perlu dilakukan secara terartur. “Jika CSR dilakukan dengan benar, maka risiko terganggunya operasional perusahaan akan berkurang,” papar Maria.